“Kau masih marah pada mereka karena
menculikmu kemarin, Faith?” tanya Keyna ketika melihatku turun dari lantai
atas.
“Aku juga marah padamu. Ingat itu,”
cebikku kesal.
“Tsk, jangan seperti anak kecil.”
Keyna melambaikan tangan di depan wajahnya.
“Aku tahu kau tidak mungkin bisa
marah padaku,” tambahnya seraya terkekeh.
“Awas saja sekali lagi kau
sekongkol dengan mereka seperti kemarin. Aku tidak akan memaafkanmu,” ancamku
sambil memasang tampang pura-pura jengkel.
“Berarti sekarang dimaafkan nih?”
Keyna terbahak. Aku cuma mendengus kesal.
“Hyden
ingin meminta maaf padamu …”
“Masih mau sekongkol dengannya?”
Aku mendelik marah.
“Tsk, aku hanya menyampaikan
pesannya. Joshua yang menyuruhku menyampaikannya padamu.”
“Sepertinya aku tidak ingin bertemu
dahulu denganya. Ini sangat sulit bagiku … mengertilah,” desahku frustasi.
“Aku mengerti, Faith. Sudahlah, apa
yang harus kulakukan untuk menebus kesalahan padamu kemarin, hmm, sahabat
baikku?” Keyna menyunggingkan senyum tulusnya.
“Sepertinya secangkir kopi istimewa
buatanmu, mampu mengembalikan moodku
yang sedang di ambang jurang ini.” Aku nyengir membalas ucapan Keyna.
“Secangkir kopi? Itu saja? Tentu
saja, Faith. Andai saja Hyden tahu begitu mudahnya meminta maaf denganmu. Ternyata
kau hanya luluh dengan secangkir kopi.” Keyna masih sempat menggodaku sebelum
ia berlalu menuju pantry untuk
membuatkanku secangkir kopi.
Semudah itu? Tentu saja. Tanpa
secangkir kopi pun, jika Hyden datang di hadapanku dengan mengatakan maaf, itu
saja cukup meluluhkanku. Mana mungkin aku bisa benar-benar marah padanya? Aku
tidak ingin bertemu dengannya bukan karena aku marah atau benci padanya. Aku
hanya ingin menjaga hatiku. Menjaga hati agar tidak tergoda untuk lebih
mencintainya. Menjaga hati agar tidak selalu tergantung pada dirinya.
“Kenapa, Vir?” Aku mendongak ketika
melihat Vira berada di depan meja kerjaku. Wajahnya terlihat aneh.
“Aku
sudah bilang, kau tidak ingin menemuinya, tapi ia memaksa …”
“Siapa?” Aku mengerutkan kening,
lalu berusaha melongok ke meja front
office, namun aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang Vira maksud.
“Klien baru?” tanyaku lagi ketika
Vira tidak merespon pertanyaanku.
Biasanya klien akan berurusan dulu
dengan Vira untuk urusan tanggal, pembayaran dan segala macamnya baru kemudian
dibuatkan jadwal untuk meeting
bersamaku dan Keyna untuk membahas konsep dan sebagainya. Jadi aku jarang
bertemu klien baru sebelum mereka bertemu dengan Vira terlebih dahulu.
“Tidak apa-apa, Vira. Aku akan
menemuinya. Lagi pula aku bisa dicap sebagai fotografer sombong kalau aku tidak
mau menemuinya,” ujarku lalu beranjak dari tempat duduk, lalu merapikan sejenak
pakaianku.
“Tapi,
Faith …”
Aku menghiraukan ucapan Vira yang
menggantung. Segera aku melangkah ke sofa di dekat meja front office lalu tiba-tiba tubuhku kaku. Aku menahan nafas
sejenak.
Pria tampan itu … jantungku
berdegup dengan kencang. Enam tahun ia menghilang, dan kini berada di depanku
dengan tampang tidak bersalah. Untuk apa dia datang lagi? Saat beradu pandang
dengannya, dia tersenyum lebar dan melambaikan tangan padaku.
“Hai, Faith!” serunya sumringah.
Astaga!! Dia masih bisa seceria
itu? Ingin rasanya aku menampar muka pria tampan itu dengan sepatuku. Dia sudah
menghancurkan hidupku, membuatku hidup dalam rasa bersalah, dan ia masih bisa
tersenyum menyapaku. Tidakkah ia punya sedikit hati saja?
“Untuk apa kau kemari?” Sulit
sekali aku mengatakan pertanyaan ini dari bibirku yang masih bergetar.
“Menemuimu. Untuk apa lagi?” Ia
nyengir.
“Untuk apa? Belum puaskah kau menghancurkan
hidupku?” tanyaku skeptis.
“Begitukah sikapmu pada tamu, eh?” Ia
mendudukan dirinya di sofa, menyilangkan kaki kemudian menyandarkan tubuhnya di
sandaran sofa.
“Kau bukan tamuku!” seruku kasar.
“Tidak kusangka kau semakin cantik,
Faith. Bagaimana kabarmu?” Ia menatapku dengan mata cokelatnya seakan tidak
memperdulikan umpatanku padanya.
“Katakan, untuk apa kau kemari?” tanyaku
dingin, mengabaikan pujian yang baru saja ia lontarkan.
“Ya ampun, Faith. Kau masih saja
membenciku? Ayolah. Semua sudah berlalu. Sudah lebih dari enam tahun, Faith.
Kau masih menyimpan dendam untukku? Ayolah….” ujarnya santai.
Wajahku memerah mendengar
kata-katanya yang begitu santai. Bisa-bisanya dia … bisa-bisanya dia bersikap
seolah apa yang ia lakukan pada keluargaku adalah hal yang dapat dilupakan
dalam waktu enam tahun. Tidak! Bahkan seumur hidup aku tidak akan pernah
melupakan apa yang ia pernah lakukan padaku!
“Kau … arrggh, cukup Reyhan. Aku
tidak ingin melihatmu lagi. Apa lagi yang kau inginkan dariku? Kau juga ingin
menghancurkan usaha yang bertahun-tahun kubangun ini?” Mataku mulai memerah,
menahan tangis.
“Eits, santai. Dari mana kau
berpikir aku akan menghancurkan usahamu?Aku adalah salah satu calon klienmu,
tentu saja.” Ia terkekeh pelan.
“Klien apa? Kami tidak menerima
klien lelaki berengsek sepertimu!” Teriakan Keyna membuatku terlonjak.
Tiba-tiba ia sudah di depanku lalu menarik dasi lelaki tidak punya hati itu
hingga Reyhan otomatis berdiri, berhadapan dengan Keyna.
“Keyna … sabar. Jangan bermain
kasar seperti ini. Sudah lama kita tidak bertemu. Inikah salam darimu untuk
pertemuan kita?” Reyhan kembali terkekeh seraya merapikan dasinya kembali.
“Pergi, kataku!” Keyna berteriak
marah.
“Aku datang dengan baik-baik,
Keyna. Aku ingin menjadi klien kalian. Aku sudah melihat karya-karya Faith di website. Dan aku ingin preweddingku diabadikan oleh seorang professional seperti Faith.”
“Kau mau menikah?” tanya Keyna
dingin.
“Tentu saja.” Ia tersenyum lebar.
“Wow, ternyata ada yang mau menikah
denganmu. Sungguh malang nasib perempuan itu,” ujar Keyna skeptis.
“Jangan begitu, Keyna. Kali ini,
dia perempuan yang kucintai, tidak seperti yang sudah-sudah.”
Kata-katanya begitu menusuk hatiku.
Berarti selama aku berpacaran dengannya, ia tidak mencintaiku? Pantas saja ia dengan
mudah mencampakkanku. Aku yakin wajahku sudah memerah menahan marah.
“Pasti perempuan tidak beruntung
itu adalah Rebecca. Kalian memang serasi, sama-sama berengsek!” umpat Keyna.
Terbayang wajah angkuh Rebecca saat
ia menggandeng Reyhan yang baru saja mencampakkanku. Mataku semakin panas.
“Rebecca? Tentu saja tidak.” Ia
tertawa geli.
“Aku cuma main-main dengannya,”
tambahnya lagi.
Aku sudah tidak dapat menahan
amarah yang siap meledak. Aarrgghh.. Betapa bodohnya aku karena pernah menghabiskan
waktu untuk menangisinya. Aku terlalu bodoh hingga bisa terjebak dalam
pesonanya, membuatku kehilangan orang yang aku sayangi, kehilangan semua yang
seharusnya keluargaku nikmati. Semua karena lelaki ini. Lelaki yang tidak punya
hati!!
“Pergi, Reyhan! Pergi!” Aku
berteriak frustasi, berusaha melempar apa pun yang bisa kulempar kepadanya.
Vira dengan sigap menahan tubuhku agar tidak hilang kendali, dan kulihat Keyna
sudah menyeret Reyhan keluar dari kantorku.
Aku menangis histeris di sofa. Setelah aku mampu
bangkit dari keterpurukanku, menjalani hidupku yang hampir normal ini, kenapa
dia datang kembali? Aku membencinya. Membencinya dengan seluruh hidupku!
“Faith, tenanglah. Sudah. Dia sudah
pergi. Tenanglah!” Keyna memelukku erat. Aku meronta-ronta di pelukan Keyna.
Sakit.
Sakit
ini kembali datang menghujamku. Luka yang mulai mengering ini serasa kembali
teriris. Semakin dalam dan menyakitkan. Ternyata sakit yang kurasa jauh lebih
terasa dari pada enam tahun lalu ketika baru saja mendapatkan luka ini.
Ternyata luka lama jauh lebih terasa sakit ketika tergores kembali. Aku
merasakan sakit kepala. Bukan! Bukan hanya kepalaku, tetapi juga seluruh
tubuhku, dan juga hatiku. Pandanganku terasa buram dan aku kehilangan
kesadaranku.
0 komentar:
Posting Komentar