Pedih yang Kembali #1

“Kau masih marah pada mereka karena menculikmu kemarin, Faith?” tanya Keyna ketika melihatku turun dari lantai atas.
“Aku juga marah padamu. Ingat itu,” cebikku kesal.
“Tsk, jangan seperti anak kecil.” Keyna melambaikan tangan di depan wajahnya.
“Aku tahu kau tidak mungkin bisa marah padaku,” tambahnya seraya terkekeh.
“Awas saja sekali lagi kau sekongkol dengan mereka seperti kemarin. Aku tidak akan memaafkanmu,” ancamku sambil memasang tampang pura-pura jengkel.
“Berarti sekarang dimaafkan nih?” Keyna terbahak. Aku cuma mendengus kesal.
“Hyden ingin meminta maaf padamu …”
“Masih mau sekongkol dengannya?” Aku mendelik marah.
“Tsk, aku hanya menyampaikan pesannya. Joshua yang menyuruhku menyampaikannya padamu.”
“Sepertinya aku tidak ingin bertemu dahulu denganya. Ini sangat sulit bagiku … mengertilah,” desahku frustasi.
“Aku mengerti, Faith. Sudahlah, apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahan padamu kemarin, hmm, sahabat baikku?” Keyna menyunggingkan senyum tulusnya.
“Sepertinya secangkir kopi istimewa buatanmu, mampu mengembalikan moodku yang sedang di ambang jurang ini.” Aku nyengir membalas ucapan Keyna.
“Secangkir kopi? Itu saja? Tentu saja, Faith. Andai saja Hyden tahu begitu mudahnya meminta maaf denganmu. Ternyata kau hanya luluh dengan secangkir kopi.” Keyna masih sempat menggodaku sebelum ia berlalu menuju pantry untuk membuatkanku secangkir kopi.
Semudah itu? Tentu saja. Tanpa secangkir kopi pun, jika Hyden datang di hadapanku dengan mengatakan maaf, itu saja cukup meluluhkanku. Mana mungkin aku bisa benar-benar marah padanya? Aku tidak ingin bertemu dengannya bukan karena aku marah atau benci padanya. Aku hanya ingin menjaga hatiku. Menjaga hati agar tidak tergoda untuk lebih mencintainya. Menjaga hati agar tidak selalu tergantung pada dirinya.
“Kenapa, Vir?” Aku mendongak ketika melihat Vira berada di depan meja kerjaku. Wajahnya terlihat aneh.
“Aku sudah bilang, kau tidak ingin menemuinya, tapi ia memaksa …”
“Siapa?” Aku mengerutkan kening, lalu berusaha melongok ke meja front office, namun aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang Vira maksud.
“Klien baru?” tanyaku lagi ketika Vira tidak merespon pertanyaanku.
Biasanya klien akan berurusan dulu dengan Vira untuk urusan tanggal, pembayaran dan segala macamnya baru kemudian dibuatkan jadwal untuk meeting bersamaku dan Keyna untuk membahas konsep dan sebagainya. Jadi aku jarang bertemu klien baru sebelum mereka bertemu dengan Vira terlebih dahulu.
“Tidak apa-apa, Vira. Aku akan menemuinya. Lagi pula aku bisa dicap sebagai fotografer sombong kalau aku tidak mau menemuinya,” ujarku lalu beranjak dari tempat duduk, lalu merapikan sejenak pakaianku.
“Tapi, Faith …”
Aku menghiraukan ucapan Vira yang menggantung. Segera aku melangkah ke sofa di dekat meja front office lalu tiba-tiba tubuhku kaku. Aku menahan nafas sejenak.
Pria tampan itu … jantungku berdegup dengan kencang. Enam tahun ia menghilang, dan kini berada di depanku dengan tampang tidak bersalah. Untuk apa dia datang lagi? Saat beradu pandang dengannya, dia tersenyum lebar dan melambaikan tangan padaku.
“Hai, Faith!” serunya sumringah.
Astaga!! Dia masih bisa seceria itu? Ingin rasanya aku menampar muka pria tampan itu dengan sepatuku. Dia sudah menghancurkan hidupku, membuatku hidup dalam rasa bersalah, dan ia masih bisa tersenyum menyapaku. Tidakkah ia punya sedikit hati saja?
“Untuk apa kau kemari?” Sulit sekali aku mengatakan pertanyaan ini dari bibirku yang masih bergetar.
“Menemuimu. Untuk apa lagi?” Ia nyengir.
“Untuk apa? Belum puaskah kau menghancurkan hidupku?” tanyaku skeptis.
“Begitukah sikapmu pada tamu, eh?” Ia mendudukan dirinya di sofa, menyilangkan kaki kemudian menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa.
“Kau bukan tamuku!” seruku kasar.
“Tidak kusangka kau semakin cantik, Faith. Bagaimana kabarmu?” Ia menatapku dengan mata cokelatnya seakan tidak memperdulikan umpatanku padanya.
“Katakan, untuk apa kau kemari?” tanyaku dingin, mengabaikan pujian yang baru saja ia lontarkan.
“Ya ampun, Faith. Kau masih saja membenciku? Ayolah. Semua sudah berlalu. Sudah lebih dari enam tahun, Faith. Kau masih menyimpan dendam untukku? Ayolah….” ujarnya santai.
Wajahku memerah mendengar kata-katanya yang begitu santai. Bisa-bisanya dia … bisa-bisanya dia bersikap seolah apa yang ia lakukan pada keluargaku adalah hal yang dapat dilupakan dalam waktu enam tahun. Tidak! Bahkan seumur hidup aku tidak akan pernah melupakan apa yang ia pernah lakukan padaku!
“Kau … arrggh, cukup Reyhan. Aku tidak ingin melihatmu lagi. Apa lagi yang kau inginkan dariku? Kau juga ingin menghancurkan usaha yang bertahun-tahun kubangun ini?” Mataku mulai memerah, menahan tangis.
“Eits, santai. Dari mana kau berpikir aku akan menghancurkan usahamu?Aku adalah salah satu calon klienmu, tentu saja.” Ia terkekeh pelan.
“Klien apa? Kami tidak menerima klien lelaki berengsek sepertimu!” Teriakan Keyna membuatku terlonjak. Tiba-tiba ia sudah di depanku lalu menarik dasi lelaki tidak punya hati itu hingga Reyhan otomatis berdiri, berhadapan dengan Keyna.
“Keyna … sabar. Jangan bermain kasar seperti ini. Sudah lama kita tidak bertemu. Inikah salam darimu untuk pertemuan kita?” Reyhan kembali terkekeh seraya merapikan dasinya kembali.
“Pergi, kataku!” Keyna berteriak marah.
“Aku datang dengan baik-baik, Keyna. Aku ingin menjadi klien kalian. Aku sudah melihat karya-karya Faith di website. Dan aku ingin preweddingku diabadikan oleh seorang professional seperti Faith.”
“Kau mau menikah?” tanya Keyna dingin.
“Tentu saja.” Ia tersenyum lebar.
“Wow, ternyata ada yang mau menikah denganmu. Sungguh malang nasib perempuan itu,” ujar Keyna skeptis.
“Jangan begitu, Keyna. Kali ini, dia perempuan yang kucintai, tidak seperti yang sudah-sudah.”
Kata-katanya begitu menusuk hatiku. Berarti selama aku berpacaran dengannya, ia tidak mencintaiku? Pantas saja ia dengan mudah mencampakkanku. Aku yakin wajahku sudah memerah menahan marah.
“Pasti perempuan tidak beruntung itu adalah Rebecca. Kalian memang serasi, sama-sama berengsek!” umpat Keyna.
Terbayang wajah angkuh Rebecca saat ia menggandeng Reyhan yang baru saja mencampakkanku. Mataku semakin panas.
“Rebecca? Tentu saja tidak.” Ia tertawa geli.
“Aku cuma main-main dengannya,” tambahnya lagi.
Aku sudah tidak dapat menahan amarah yang siap meledak. Aarrgghh.. Betapa bodohnya aku karena pernah menghabiskan waktu untuk menangisinya. Aku terlalu bodoh hingga bisa terjebak dalam pesonanya, membuatku kehilangan orang yang aku sayangi, kehilangan semua yang seharusnya keluargaku nikmati. Semua karena lelaki ini. Lelaki yang tidak punya hati!!
“Pergi, Reyhan! Pergi!” Aku berteriak frustasi, berusaha melempar apa pun yang bisa kulempar kepadanya. Vira dengan sigap menahan tubuhku agar tidak hilang kendali, dan kulihat Keyna sudah menyeret Reyhan keluar dari kantorku.
Aku menangis histeris di sofa. Setelah aku mampu bangkit dari keterpurukanku, menjalani hidupku yang hampir normal ini, kenapa dia datang kembali? Aku membencinya. Membencinya dengan seluruh hidupku!
“Faith, tenanglah. Sudah. Dia sudah pergi. Tenanglah!” Keyna memelukku erat. Aku meronta-ronta di pelukan Keyna.
Sakit.
Sakit ini kembali datang menghujamku. Luka yang mulai mengering ini serasa kembali teriris. Semakin dalam dan menyakitkan. Ternyata sakit yang kurasa jauh lebih terasa dari pada enam tahun lalu ketika baru saja mendapatkan luka ini. Ternyata luka lama jauh lebih terasa sakit ketika tergores kembali. Aku merasakan sakit kepala. Bukan! Bukan hanya kepalaku, tetapi juga seluruh tubuhku, dan juga hatiku. Pandanganku terasa buram dan aku kehilangan kesadaranku.

0 komentar:

Posting Komentar

 

PIEXAWORLD Published @ 2014 by Ipietoon