Enam tahun sudah berlalu.
Enam tahun yang tentu saja sangat
berat untuk dijalani.
Hampir dua tahun aku terpuruk dalam rasa bersalah yang setiap malam menghantui.
Rasa bersalah kepada Bunda dan Febria yang ikut menanggung kesalahan yang
kulakukan. Mereka yang tidak pernah merasakan hidup pas-pasan, harus tinggal di
rumah kontrakan yang sempit dan makan seadanya. Mereka yang seharusnya masih
merasakan kasih sayang Ayah, harus menerima kenyataan bahwa Ayah sudah pergi
selama-lamanya dari hidup kami. Semua salahku. Semua karena aku.
Dalam keterpurukan saat itu, aku
pun harus berjuang sekuat tenaga untuk menghidupi Bunda dan Febria, adikku.
Entah kekuatan ekstra dari mana, hingga aku bisa membiayai kehidupan
sehari-hari keluarga, membayar sewa rumah, membiayai kuliahku sendiri dan Febria hingga lulus.
Tentu saja aku harus bekerja dengan keras saat itu. Mulai dari menerima
pengetikan skripsi atau tugas-tugas mahasiswa, menjual barang-barang pribadi
yang tersisa, menjual makanan kecil, hingga menjadi fotografer amatiran
bermodalkan sosial media, sebuah laptop dan kamera.
Aku bersyukur saat itu
sahabat-sahabatku tetap setia di sampingku,
bahkan banyak membantu. Keyna dengan senang hati mempromosikan paket-paket prewedding di sosial media. Atau Leo dan
Nikki yang tak kenal
lelah membantu mengetikkan setiap pengetikan yang aku terima. Atau Hyden dan
Joshua yang selalu memberiku kejutan-kejutan kecil saat aku merasa suntuk dan
mulai mengingat kenangan buruk yang sempat aku lalui.
Namun semua itu telah berlalu.
Kini aku sudah bisa membangun
sebuah usaha fotografi dengan tema pernikahan. Usaha pertama yang kubangun sendiri.
Pertama memang tanpa tempat, tanpa
manajemen yang memadai, hanya mengandalkan akun sosial media untuk pemasaran. Tentu
saja ini adalah andil Keyna sebagai marketing
yang handal, hingga aku mendapatkan banyak job
prewedding.
Setelah hampir tiga tahun mengumpulkan
modal dengan banyak permintaan foto prewedding,
aku membeli sebuah ruko berlantai dua untuk mengembangkan usaha ini, kemudian mencicil
sebuah mobil untuk memudahkan transportasi
ketika ada job
di luar.
Ya, setelah lulus kuliah, aku
memutuskan untuk mendirikan usaha fotografi seperti yang kuimpikan selama ini.
Mungkin terasa aneh bagi sebagian orang termasuk sahabat dan keluarga, karena
selama ini aku kuliah di jurusan Ekonomi Manajemen. Tapi, bagaimana lagi, aku
merasa fotografi sudah mengakar kuat di hidupku, bahkan fotografilah yang
membantuku bertahan dari belitan ekonomi saat itu.
Aku belajar fotografi secara
otodidak melalui buku-buku, internet dan juga bergabung dalam klub fotografi
untuk mempelajari tehnik-tehnik fotografi yang belum dikuasai demi meningkatkan
kualitas hasil potretanku.
Meski sekarang aku sudah dikenal di kota ini sebagai fotografer yang cukup
sukses, aku masih terus bergabung dalam klub fotografi tersebut untuk sekedar
berbagi pengalaman. Paling tidak mereka sudah tidak menganggapku anak bawang
dengan gender minoritas di klub
tersebut.
Aku mempekerjakan dua orang untuk
membantu mengurus usaha ini. Keyna, sahabat yang kupercaya mengurus seluruh
jadwal, periklanan, keuangan, merangkap penata gaya dan make-up artist, serta Vira teman seangkatan waktu kuliah yang
bertugas sebagai front office dan
pelengkap -kusebut pelengkap karena dia juga bertugas membuat minuman, membeli ini itu,
mengambil dan mengantar foto yang dicetak dan lain sebagainya-.
Aku merapikan peralatan yang
berserakan di meja kerja, mematikan PC kemudian menyimpan senjata andalan dalam
bekerja, kamera berikut lensanya ke dalam tas kamera. Mataku tertuju pada
tumpukan foto yang baru saja dicetak. Vira sudah memberikannya sejak siang tadi,
namun aku belum menyentuhnya sama sekali.
Ahh,
nanti saja, masih ada waktu, suara hati mengalahkan
prinsip yang kupegang, tidak menunda-nunda pekerjaan.
Aku memijit pelipis yang terasa
berdenyut-denyut. Ini pasti karena kelamaan menatap layar PC. Sehari ini aku
tidak beranjak dari meja kerja. Aku melirik jam tangan, sudah jam lima sore.
Berarti aku sudah menghabiskan sembilan jam untuk menatap layar persegi ini.
pantas saja sekarang kepalaku merasa pening.
“Faith, kau kenapa? Kepalamu sakit
lagi?” tanya Vira seraya berjalan menghampiri meja kerjaku sambil membawa
beberapa lembar kertas.
“Ini, daftar klien baru serta
jadwal meeting yang disusun Keyna
kemarin.” Vira menyerahkan lembaran kertas padaku dan Keyna bergantian.
“Pergilah ke dokter, Faith,
beberapa minggu ini kau sering mengeluh sakit kepala,” tambah Vira dengan
ekspresi cemas.
“Aku baik-baik saja. Jangan terlalu
mengkhawatirkanku.” Aku tertawa hambar.
“Sejak insiden Hyden, kau sering
sakit kepala. Sepertinya itu yang mengganggu pikiranmu. Bagaimana kami tidak
khawatir? Siapa yang akan melanjutkan usaha ini kalau kau sakit?” Keyna
tertawa. Aku mendengus sebal saat Keyna menyinggung tentang Hyden.
“Hyden? Ada apa dengan Hyden?” Vira
mengangkat sebelah alisnya, ingin tahu.
“Seperti biasa,” ucapku cepat,
tidak menginginkan pembicaraan lebih tentang Hyden.
“Vira, tolong buatkan secangkir
kopi, please,” tambahku untuk
mengalihkan pembicaraan.
“Kopi lagi? Setiap sakit kepala kau
selalu meminum kopi. Kebanyakan kopi tidak baik untuk kesehatan, Faith.”
Seperti biasa ia mengomeliku, lalu berjalan ke pantry untuk membuatkan secangkir kopi.
“Tidak pulang?” tanya Keyna ketika
dilihatnya aku kembali menyalakan PC yang baru saja kumatikan. Dia sudah
bersiap untuk pulang.
Semenjak berkantor di sini, aku
hampir tidak pernah pulang. Aku memutuskan tinggal di ruko dua lantai ini.
Lebih hemat waktu dan biaya, alasanku ketika bunda sempat melarangku pindah.
Aku bahkan sudah memboyong hampir semua barang-barangku.
“Pulang ke mana? Aku sudah tidak
punya rumah, Keyna.”
“Tsk, kau ini. Sekali-kali
pulanglah ke rumah dan jenguklah Bunda.
Apa kau tidak merasa kasihan dengan Bunda?
Bunda selalu saja menghubungiku untuk mengetahui keadaanmu.“ Keyna menatapku.
Ya, yang dikatakan rumah oleh Keyna
sekarang terasa asing bagiku. Bagaimana tidak asing, sekarang keluargaku tidak
lagi tinggal di rumah kontrakan yang enam tahun lalu kami tinggali. Adikku
sudah menikah dengan seorang pria mapan bernama Andi. Setelah menikah, Andi
memboyong kami sekeluarga ke rumah dinas di sebuah perumahan elit yang ia
dapatkan dari kantornya. Ia seorang manager pemasaran di sebuah perusahaan yang
cukup bonafit.
Sebagai seorang kakak yang belum
dapat memberikan kebahagiaan kepada adiknya, bagaimana bisa aku ikut
menyusahkan keluarga kecil itu dengan ikut menumpang di rumah suaminya? Aku
cukup tahu diri dengan hal itu. Dan keputusan untuk tinggal di kantor ini
adalah hal yang cukup adil, buatku, juga buat adikku. Aku tidak ingin
menyusahkan keluargaku lebih banyak lagi.
“Katakan saja aku baik-baik di
sini,” jawabku seakan tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini.
“Ayolah Faith. Sudah cukup kau
menghukum dirimu sendiri dan hidup dalam rasa bersalahmu itu. Kau sudah sangat
bertanggungjawab dengan kerja kerasmu selama ini. Kau sudah menghidupi
keluargamu, membiayai kuliah Febria hingga lulus. Apalagi? Kau jangan menyiksa
dirimu sendiri, nona keras kepala.”
“Bagaimana kalau kita bahas yang
lain saja, Keyna?” tawarku malas. Aku benar-benar tidak ingin membahas tentang
keluargaku. Membahasnya membuatku kembali mengingat rasa bersalah yang kadang
menghantuiku.
Sebenarnya bukan itu saja yang
membuatku enggan pulang menjenguk bunda.
Semenjak adikku menikah hampir dua tahun lalu, bunda menginginkanku juga cepat
menikah. Bagaimana aku bisa menikah, kekasih saja aku tidak punya.
Bukan aku tidak pernah jatuh cinta
setelah keterpurukanku. Aku jatuh cinta, hingga sekarang. Masalahnya aku jatuh
cinta pada seseorang yang hanya menganggapku sahabat. Hyden.
Ironis bukan? Setelah kau
dicampakkan, lalu berusaha bangkit dari keterpurukan dengan bantuan seseorang
yang selalu di sampingmu,
memberimu sejuta perhatian, hingga membuatmu jatuh cinta, pada akhirnya harus
kembali terhempaskan karena perhatiannya selama ini karena dia hanya menganggapmu
seorang sahabat.
“Ini kopimu. Ini weekend saudara-saudara, bagaimana kalau
kita hangout saja?” Vira meletakkan
secangkir kopi panas di depanku. Lalu menyambar tas yang selalu ia letakkan di
atas lemari kabinet.
“Kalian saja. Masih banyak yang
perlu kukerjakan. Prewedding Erin dan
Yoga harus jadi minggu depan. Aku belum selesai mengeditnya.” Aku terkekeh,
kemudian merasa aneh. Kata-kataku barusan sama sekali tidak mengandung unsur
lucu atau humor, lalu apa yang barusan aku kekehkan? Sepertinya otakku memang butuh refreshing.
“Ahh, ayolah Faith, ini kan malam
minggu. Refreshinglah,” ujar Vira
sambil menampakkan wajah memelas. Aku tahu dia kesepian malam minggu ini karena
kekasihnya sedang dinas ke luar kota. Dia hanya memanfaatkanku untuk menemani
kesendiriannya itu.
“Aku tahu modusmu, Vira. Karena
James ke luar kota makanya kau mengajak kami keluar, kan? Aku sih sudah ada
janji dengan Joshua,” sahut Keyna sembari merapikan riasannya. Sepertinya dia
akan langsung kencan dengan Joshua sepulang kerja ini. Aku tertawa pelan dan
Vira hanya mencebik mendengar kata-kata Keyna.
“Ya sudah kalau kalian tidak mau.
Aku hanya tidak tega melihat Faith selalu mengurung diri di kantor. Kapan kau
bisa mendapatkan kekasih kalau kerjamu hanya pacaran dengan PC dan kamera?
Sekali-kali cari pemandangan lain biar kau cepat bertemu dengan jodohmu.”
Aku melempar Vira dengan kertas HVS
yang sudah kuremas-remas menyerupai bola hingga mengenai kepalanya yang mungil,
lalu terdengar tawa dari Vira dan Keyna seolah menertawakan kemalanganku yang
belum juga mendapatkan seorang kekasih.
“Jodoh itu tidak akan ke mana, Vira.
Suatu saat, tiba-tiba dia akan berada di depanku, lalu menyatakan cintanya
padaku. Seorang manusia setengah dewa yang berhasil melumpuhkan hatiku, hingga
aku bertekuk lutut pada pesonanya.” Aku menyeringai lebar saat
memvisualisasikan khayalan yang baru saja melintas di benakku. Vira dan Keyna
semakin terbahak mendengar kata-kataku.
“Khayalanmu terlalu tinggi, Faith.
Bagaimana bisa seorang manusia setengah dewa menyatakan cinta, jika kau hanya
bersembunyi di bangunan ini saja. Sudah-sudah, aku mau pulang.” Vira tergelak
lalu melangkah keluar seraya melambaikan tangannya ke arah kami.
Aku menyesap kopi yang masih panas.
Ini adalah cangkir kedua yang kuminum hari ini. Caffeine memang cukup ampuh untuk meredakan pening di kepalaku.
Dulu ketika aku masih sering sakit kepala karena terlalu banyak pikiran, kopi
adalah pelarianku.
“Kau tidak pulang juga?” tanyaku
ketika Vira sudah melewati pintu kaca.
“Aku menunggu Josh. Mmph, bagaimana
kalau kau ikut kami? Aku dan Josh mau nonton,” tawar Keyna
“Dan menjadi setan di antara kalian? Ahh,
lupakan saja,” dengusku. Keyna terkikik. Aku selalu mengatakan kalau dua orang sedang
bersama, yang ketiga adalah setan. Dan aku malas sekali menjadi setan di antara
mereka.
Kedua sahabatku itu menjalin kisah
cinta sejak kami masih kuliah. Keyna adalah teman sekelasku. Aku yang
mengenalkan Keyna pada Joshua, kakak tingkatku yang juga menjadi sahabatku
bersama tiga kakak tingkat yang lain. Nikki, Hyden dan Leo.
“Sudah bilang pada Josh, tentang
tawaranku kemarin?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Joshua dan Keyna akan
menikah tahun depan. Aku menawarkan agar aku saja yang memotret prewedding mereka.
“Sepertinya Josh enggan
menerimanya. Dia tidak enak padamu.” Kata-kata Keyna langsung mengingatkanku
pada kejadian enam bulan lalu, Joshua memberi tahu Hyden tentang perasaanku
selama ini padanya dan tentu saja hal itu tidak berakhir bahagia seperti yang
aku harapkan. Selama hampir dua tahun aku diam-diam mencintai lelaki itu,
tetapi akhirnya aku harus menyadari bahwa cintaku hanya bertepuk sebelah
tangan. Jujur, itu sangat menyakitkan bagiku.
“Ahh, bukan salahnya, kan, kalau Hyden tidak mempunyai
perasaan apa pun padaku? Kenapa diambil hati sih?” ujarku pelan.
Merasakan jantung yang serasa
diremas membuatku sedikit sesak nafas. Aku kembali menyesap kopi. Pikiranku
kembali menerawang kepada Hyden, seorang sahabat yang begitu perhatian padaku.
Ia yang selalu berada di sisiku melebihi ketiga sahabatku disaat-saat terpuruk itu.
Memberiku kekuatan, motivasi, perhatian dan harapan setinggi langit hanya untuk
dihempaskan kembali dengan mengatakan ia tidak punya perasaan apa pun padaku
selain hanya sebagai sahabat. Sekian lama aku berhasil membuka hatiku yang
tertutup rapat, hanya untuk terluka kembali.
“Tapi, dia merasa yang membuat
kalian jadi jauh.” Keyna menatapku iba.
“Hahaa … cepat atau lambat pasti
terjadi kan? Kalau seperti ini, aku kan bisa secepatnya menata kembali hatiku
untuk orang lain.” Kembali aku tertawa hambar. Menertawai kata-kataku barusan.
Secepatnya menata kembali hatiku
untuk orang lain? Seperti bukan aku saja. Aku masih ingat, tiga tahun waktu
yang tidak singkat untuk dapat move on
dari Reyhan lalu membuka hati pada Hyden. Dan sekarang, aku harus menata hatiku
kembali. Kali ini berapa lama?
“Pokoknya dia tidak boleh menolak.
Aku tidak pernah memberikan kesempatan kepada orang lain seperti kepada kalian.
Foto prewedding oleh fotografer
terkenal secara cuma-cuma.” Aku terbahak dengan katak-kataku barusan, sedikit
sombong kurasa.
"Iya, iyaa … fotografer
terkenal yang semakin banyak job."
Keyna mengomentari. Aku semakin terbahak.
“Semua juga karena kau, Keyna.
Bagaimana aku bisa seterkenal ini tanpa marketing
darimu?” Aku semakin terbahak.
“Tapi kalau kau selalu seperti ini,
pekerjaan akan terbengkalai. Tidak ada yang bisa tepat waktu. Seharusnya kau
mempekerjakan seorang lagi untuk membantumu mengedit foto-foto itu.”
“Aku masih bisa mengatasinya,
Keyna,” balasku santai.
Aku memang tidak pernah menyerahkan
urusan foto dan editing kepada orang
lain. Semua kukerjakan sendiri. Klien pun sepertinya tidak mau foto-fotonya
dikerjakan oleh orang lain. Meski sedikit kerepotan dengan hal itu, toh tidak
membuatku frustasi atau kewalahan melayani permintaan klien yang semakin hari
semakin bertambah banyak ini.
Kulihat Joshua memasuki pintu. Ia tersenyum
lebar ketika dilihatnya Keyna sudah merengut karena terlalu lama ia
menjemputnya.
“Maaf, sayang. Biasa, macet.” Ia
beralasan.
Aku sangat tahu kalau Joshua adalah
tipe pria jam karet. Ia selalu terlambat dalam hal janjian apa pun. Di kampus dulu,
dia sering tidak masuk kelas karena terlambat, alhasil dia banyak mengulang
mata kuliah bersama kelasku. Di situlah aku mengenalnya dan ia yang mengenalkan
sahabat-sahabatnya padaku, hingga aku pun bersahabat dengan mereka.
“Kapan sih kau ini bisa tepat waktu?” Keyna
merengut. Joshua nyengir.
“Aahh, yang penting kan, aku sudah
di sini
sekarang. Oya, Faith, kita ada rencana ke pantai. Kau ikut kan? Jadwalnya
sesuai dengan hari kosongmu,” ujar Joshua mengalihkan perhatiannya padaku.
Keyna semakin merengut tidak mendapat respon yang ia inginkan. Itulah
sahabat-sahabatku, mereka selalu menomorsatukan sahabat daripada pacar mereka.
“Mmpphh, sepertinya
kali ini aku tidak ikut,” jawabku sambil memasang senyum yang dipaksakan.
“Ayolah, Faith. Kau tidak bisa
terus-terusan menghindar. Sudah tiga kali kau menolak ajakan kita keluar. Kita
kangen padamu. Sayang, bujuk dia agar ikut ya.” Joshua melayangkan pandangannya
padaku dengan kesal lalu menoleh pada Keyna dengan pandangan meminta. Keyna
cuma angkat bahu menanggapi permintaan Joshua.
“Jangan kau korbankan persahabatan
kita seperti ini.” Joshua mendengus kesal. Aku tertawa hambar.
“Siapa yang mengorbankan
persahabatan, eh? Aku memang benar-benar sibuk hingga aku tidak bisa pergi
dengan kalian. Kau harus memakluminya, Josh. Katakan itu pada mereka. Kalo
mereka kangen, mereka bisa main ke mari.”
“Jangan memaksanya, sayang,” bela
Keyna. Ia menatap Joshua kesal.
“Dia juga suka memaksakan
kehendaknya pada kita kan? Aku kan hanya melakukan sebaliknya.” Joshua
mengangkat bahunya lalu terkekeh pelan.
lanjutkan
lanjutkan
0 komentar:
Posting Komentar