Ivander membelokkan mobilnya ke Caferalatte. Ah, pantas saja ia bilang
cokelat panas di sini lezat. Aku bahkan menjadikannya tempat favorit untuk meeting atau sekedar bersantai di
sela-sela kesibukanku. Marschoco di
sini luar biasa bisa menenangkan pikiranku. Aku mengikuti mobil Ivander dan
memarkirkan mobil tepat di samping mobilnya.
“Di sini?” Aku mengulum senyum.
“Benar. Kau tidak akan menyesal mencobanya.” Ia
tertawa lebar lalu mempersilakanku masuk duluan. Aku tersenyum simpul, lalu
membuka pintu. Freddie menyambutku dengan senyuman khasnya. Aku hanya
menyeringai lebar, lalu menuju tempat favoritku, di samping jendela besar yang
menghadap ke jalan.
“Meeting
selarut ini, miss?” tanya Freddie ketika
menghampiri mejaku untuk mencatat pesanan. Aku tersenyum lebar.
“Aku bersama seorang teman kali ini. Seperti biasa
dan buatkan yang sama untuk temanku,” ujarku disambut senyum lebarnya, lalu
meninggalkanku untuk membuatkan pesanan.
“Kau, sering ke sini, Faith?” Ivander memandangku
heran.
“Aku menggunakan tempat ini untuk meeting dengan klien, atau saat aku
membutuhkan ketenangan. Seperti yang kau bilang, Marschoho di sini memang luar biasa lezatnya.” Aku mengulum senyum.
“Tidak kusangka kita memiliki tempat favorit yang
sama.” Ivander tersenyum lebar. Aku hanya dapat menatap senyumnya dengan
menahan nafas.
“Dan … kenapa pelayan tadi lebih mengira kau akan meeting, dari
pada mengira kau sedang menghabiskan waktu bersama kekasihmu? Sepertinya
hanya ada dua option, dia sudah hafal
wajah kekasihmu, atau kau memang tidak pernah membawa kekasihmu ke sini.”
Ivander terkekeh. Aku tertawa kecil.
Memang benar, aku selalu sendirian ke
sini jika aku ingin bersantai, selebihnya itu aku hanya akan bersama
orang lain ketika meeting.
“Sepertinya memang option yang kedua.” Aku tertawa.
“Oh, sudah kuduga.” Ia melebarkan senyumnya.
“Sudah berapa lama kau menjalani profesimu sebagai
model?” Aku tiba-tiba bertanya. Sebenarnya aku tidak begitu tertarik tentang
hal itu. Tapi, bertanya saja boleh kan? Apalagi aku merasa dia cukup piawai
bergaya, tidak seperti klien-klienku yang sering tampak kaku ketika diarahkan
untuk bergaya. Dan untuk hal itu aku maklum, karena aku tahu mereka memang
bukan model.
“Belum lama. Mungkin dua tiga tahun ini. Sebenarnya
ini hanya hobi. Hanya pekerjaan sampingan,” jawabnya santai.
“Lalu, apa pekerjaanmu? Kau masih mahasiswa?” Sekarang
aku ingin tahu. Kalau dikira-kira, paling dia berumur dua puluh empat atau dua
puluh lima tahun. Hmm, sepertinya dia masih sangat muda.
“Mahasiswa? Apakah aku tidak tampak terlalu tua
disebut dengan mahasiswa? Aku bekerja di Maxime group. Kau pernah mendengarnya?” Ia
terkekeh.
“Perusahaan itu cukup besar, apakah gajimu kurang
sehingga kau memilih pekerjaan sampinganmu itu?” Aku tersenyum simpul.
“Tentu saja tidak. Sudah kukatakan, itu hanya
sebuah hobi.” Ia kembali terkekeh. Aku hanya ber-oh- ria.
Freddie membawakan pesanan kami, sebelum berlalu,
ia menyunggingkan senyumnya.
“Terima kasih Freddie. Dan seperti biasa, tagihan
dikirim ke kantor ya,” Aku tersenyum.
“Hei, aku yang mengajakmu, kenapa kau yang mau
membayarnya?” Ivander memprotesku ketika Freddie sudah berlalu dari hadapan
kami.
“Sudah kebiasaan.” Aku tertawa.
“Kau membuatku malu, Faith. Baru pertama kalinya
aku ditraktir oleh seorang gadis.” Ia mendengus pelan.
“Oya? Ah, aku tersanjung kalau begitu.” Aku
tersenyum lebar sedangkan ia hanya mendecak sebal.
Aku menyesap marschocoku,
rasa tenang yang hangat mulai menjalari hatiku. Cokelat memang memberi efek
menenangkan, apa lagi saat di atasnya ditaburi marsmallow seperti yang sedang kunikmati ini. Aku memang butuh
penenangan diri. Kalau beberapa tahun lalu, aku sering mengkonsumsi obat
penenang jika pikiranku terlalu kacau. Namun sekarang, sepertinya kopi dan cokelat
mampu mereda kegalauanku.
“Berapa usiamu?” Ivander bertanya tiba-tiba.
“Tiga puluh,” jawabku santai. Aku menatap satu alis
lelaki di depanku ini terangkat.
“Tiga puluh tahun? Kau masih tampak seperti usia
dua puluh empat tahun. Tadi aku mengira kau masih dua puluh empat tahunan.”
“Yang benar saja….” Jadi dia tadi melancarkan
modusnya karena mengira aku lebih muda darinya? Aku tertawa geli.
“Tiga puluh tahun dan belum mempunyai kekasih, eh?”
Senyum tersungging di bibirnya. Aku menghela nafas.
“Memang kenapa? Ada yang salah? Aku merasa, Tuhan
sedang memberiku kesempatan untuk menikmati masa muda lebih panjang dari
teman-teman sebayaku.” Aku tertawa pelan. Ya, pasti Tuhan memang sedang
memberiku kesempatan untuk menebus masa mudaku yang kusia-siakan. Ivander
tertawa.
“Benar. Kesempatan menikmati masa muda yang lebih
panjang dari teman-teman sebaya kita. Aku juga merasakannya. Bisa menjalani
hobiku seperti anak-anak remaja itu tanpa peduli usiaku,” ujarnya lalu menyesap
marschoconya.
Aku memandangnya heran. Usia dua puluh lima tahun
bukankah belum cukup tua untuk menjadi seorang model?
“Bahkan aku lebih tua darimu.” Sepertinya ia
mengerti dengan apa yang kupikirkan.
“Benarkah? Tidak mungkin.” Aku tidak percaya.
“Aku tiga puluh dua tahun.” Ia tertawa kecil.
“Yang benar saja….” Aku menatapnya tidak percaya.
Ia terlihat seperti pemuda berusia dua puluh lima tahun.
“Apa perlu kutujukkan kartu identitas untuk
membuatmu percaya padaku?” Ia menaikkan sebelah alisnya. Aku tertawa lebar.
Tidak sengaja aku melirik jari-jarinya. Tidak satu
pun tersemat cincin di sana.
“Tiga puluh dua tahun dan belum menikah, eh?” tanyaku tanpa sadar.
Ia menatapku dan sepertinya tersadar aku sempat melirik jarinya.
“Benar. Tidak ada yang mau denganku.” Ia terkekeh.
“Tidak ada yang mau denganmu? Yang benar saja.” Aku
mencebik.
Kali ini aku tidak percaya padanya. Yang benar
saja, tidak ada perempuan yang tertarik padanya? Pada malaikat yang terjebak
dalam tubuh sempurna seperti ini? Apa perempuan-perempuan itu sudah tidak
waras? Hati kecilku terasa sedang bersorak kegirangan. Apa-apaan aku ini? Apa
yang sedang aku pikirkan?
“Di satu sisi, mereka pikir aku orang yang gila
kerja, tidak punya waktu untuk melakukan hal lainnya. Di sisi lain, para model
mengira aku seorang gay, seperti kebanyakan model pria lainnya.” Ia terkekeh. Aku
ikut terkekeh. Aku merasa lega. Lega? Aku tercenung memikirkan perasaanku
sendiri.
“Kau tidak berpikir untuk menjalin hubungan dengan
seseorang?” Ia bertanya secara tiba-tiba. Aku menatapnya tidak mengerti.
Menautkan kedua alisku, bertanya maksud pertanyaannya itu.
“Maksudku, di usiamu ini. Kebanyakan perempuan di
usiamu sudah menikah. Bukan bermaksud untuk menghinamu atau apa, aku hanya
bertanya, kau tidak berpikir untuk menjalin hubungan dengan seseorang, hubungan
antara lelaki dan perempuan, seperti itu?”
“Pacaran maksudmu?”
“Seperti itulah,”
“Sepertinya saat ini, tidak,” jawabku pelan.
“Kenapa?”
“Entahlah. Kau sendiri?” Aku balik bertanya.
“Sebenarnya, aku tipe pria pemilih,” akunya pelan.
Ahh, tentu saja, lelaki sempurna seperti dia mana
mungkin sembarangan mencari pasangan. Ia pasti selektif dalam memilih
kekasihnya.
“Dan sepertinya aku sudah mendapatkan pilihanku.”
Ia tersenyum lembut membuatku menahan nafas beberapa detik.
Bukan. Bukan senyumnya, tapi kata-kata sudah
mendapatkan pilihanlah yang membuatku tercekat dan merasa sedikit kecewa. Apa?
Kecewa?? Kenapa aku harus kecewa dengan pernyataannya?
“Oh.” Aku hanya
ber-oh-ria menanggapi ucapannya.
“Kurasa, aku telah jatuh cinta padamu. Kau tahu,
cinta pada pandangan pertama. Kurasa aku telah memilih untuk jatuh cinta
padamu.” Ia menatapku intens.
“Apa? Jatuh cinta padaku? Yang benar saja….”
aku tergelak. Tapi sejurus kemudian aku merasa aneh. Dia jatuh cinta padaku? Aku
merasa di sudut hatiku ada kesejukan di
sana. Tapi rasa apa itu? Aku benar-benar tidak dapat mendeskripsikan
perasaanku sekarang.
“Kau mau jadi kekasihku, Faith?” Ia membuka
mulutnya dengan pertanyaan itu.
Aku menatapnya tidak percaya. Kulihat mata hazel
itu menatapku sedemikian rupa. Ia menatapku hingga aku kehabisan kata-kata.
Tatapannya mampu membungkam mulutku. Masa ia menyatakan cintanya pada pertemuan
pertama? Sungguh tidak biasa kan?
“Jangan bercanda,” ucapku kaku.
“Aku tidak suka candaan seperti itu,” tambahku.
“Aku tidak bercanda. Aku serius. Mungkin terlihat
aneh, aku menyatakan perasaanku padamu di pertemuan pertama kita. Ya … ini
memang aneh. Aku pun juga merasa aneh, jatuh cinta padamu seperti ini. Tapi,
itulah yang kurasakan. Aku jatuh cinta padamu.” Ia tetap menatap mataku saat
berbicara, seakan memberikan keyakinan bahwa ia serius dengan ucapannya. Aku tidak tahu harus
menjawab apa.
“Apa yang membuatmu tidak percaya akan cinta,
Faith?” tanyanya pelan.
“Apa?” Aku menatap manik hazel di depanku. Kenapa
ia bisa tahu apa yang sedang aku pikirkan? Tidak percaya akan cinta?
Yaa, aku memang tidak percaya ada cinta yang tulus.
Tidak, cintaku selalu tulus. Pada Reyhan, pada Hyden, tapi aku tidak pernah
mendapatkan cinta yang benar-benar tulus padaku. Apakah harus kuceritakan
alasannya? tentang penghianatan, tentang cintaku yang bertepuk sebelah tangan?
“Faith.”
“Aku ...” Aku mengalihkan pandanganku, menatap ke
luar jendela besar yang berada di sebelah kananku. Kurasakan Ivander menggenggam
jemariku, lalu dengan cepat kutepiskan tangannya.
“Maaf, aku hanya ...” Ivander menarik
tangannya.
“Aku bahkan siap menikahimu sekarang, jika kau
menginginkannya.” Ia berusaha menyakinkanku.
“A-Apa?” Kata-katanya sukses membuat mataku
membulat, menatapnya tak percaya.
Menikah? Ah, bukankah itu yang kuinginkan? Menikah
dengan seseorang yang kucintai, yang mencintaiku dengan tulus. Tapi aku masih
bisa berpikir waras. Aku tidak mungkin menikah dengan orang yang baru pertama
kali ini kutemui, yang mengaku jatuh cinta padaku. Yang benar saja….
“Kau berlebihan.” Aku berkilah.
“Memang. Tapi, aku benar-benar akan melakukannya
jika kau mau menerimaku.” Ia terkekeh.
“Kau tidak sedang terburu-buru menikah karena
dipaksa oleh keluargamu, kan?” Aku terkekeh, berusaha menyembunyikan kegugupan
yang tiba-tiba menghampiriku.
“Tentu saja tidak. Orang tuaku tidak pernah
mempermasalahkan kapan aku menikah. Mereka membebaskan anak-anaknya untuk
menikah kapan pun kami mau. Aku
punya dua orang adik. Adik perempuanku, yang bungsu, malah sudah menikah. Adik
lelakiku, mungkin ia akan menikah duluan. Dan aku tidak masalah dengan hal itu.
Seperti yang kau bilang, aku baru menikmati masa muda yang lebih panjang dari
teman-teman sebayaku.” Ia tertawa lebar.
Aku mendesah pelan. Meski senasib, keadaan kita
berbeda. Aku malah selalu terintimidasi dengan desakan bunda yang menyuruhku
cepat-cepat menikah.
“Kau tidak percaya padaku? Apa yang harus kulakukan
untuk membuatmu menerimaku?” tanyanya kemudian.
Aku menggeleng pelan.
“Entahlah,” jawabku mengambang.
“Entahlah?” Ia mengulangi jawabanku dalam bentuk
pertanyaan.
“Aku rasa kita belum kenal lebih jauh. Bahkan kita
baru sekali bertemu. Aku merasa aneh ketika tiba-tiba kau bilang jatuh cinta
padaku. Jujur, aku tidak tahu seperti apa perasaanku padamu. Jadi aku …”
Aku benar-benar tidak tahu apakah aku harus menolak
atau menerimanya. Aku saja tidak tahu apa yang sedang kurasakan ini. Semua
begitu tiba-tiba dan entahlah….
“Sepertinya aku harus memikirkannya dulu,” jawabku
kemudian disambut senyum lebarnya yang sangat menawan.
“Benarkah?” Mata hazel itu berbinar.
“Aku bilang akan memikirkannya, bukan akan
menerimamu.” Aku mencebik ketika melihat dia tersenyum lebar.
“Tidak masalah. Kau memikirkannya, berarti ada
kesempatan buatku. Aku pikir, tadi kau akan menolakku mentah-mentah. Aku sudah
khawatir dengan hal itu. Ternyata kau akan memikirkannya. Berarti kau masih
memberiku kesempatan. Aku lega mendengarnya.” Senyumnya semakin lebar.
Aku menatapnya tidak percaya, kemudian menggeleng-gelengkan
kepala melihat kepedean lelaki di depanku ini.
Aku sedikit terlonjak mendengar bunyi ponselku.
Tertampang nama Andi, adik iparku di layar ponsel. Ada apa malam-malam begini
ia meneleponku? Aku menatap Ivander yang sempat melirik ponselku.
“Maaf,” ucapku pada Ivander seraya mengangkat
teleponku.
“Halo.”
“Kak, bunda
sakit. Pulanglah, bunda selalu menanyakanmu.” Suara Andi membuat bibirku
bergetar.
“Apa?”
“Kakak tidak
perlu khawatir, bunda hanya tidak enak badan. Tapi, bunda selalu menanyakanmu.
Pulanglah kak, jenguk bunda,” ucap Andi membuatku menghela nafas lega.
“Baiklah, aku ke sana sekarang,” ujarku pelan,
menggantikan kata ‘pulang’ dengan ‘ke sana’, ke rumah Andi.
“Aku senang
mendengarnya. Terima kasih kak,” jawab Andi terdengar lega. Segera aku
menutup telepon.
“Sepertinya, aku harus pulang. Sudah larut malam.” Aku
mengambil tasku bersiap hendak bangkit dari kursiku.
“Ada masalah?”
“Tidak. Tidak ada yang perlu dicemaskan,” jawabku
cepat.
“Kuantar?” tawarnya.
“Aku bawa mobil sendiri, kau ingat?” Aku terkekeh.
“Ah, benar. Baiklah. Kapan kita bisa bertemu lagi?”
tanyanya.
“Entahlah,” jawabku sambil bangkit dari kursiku,
melangkahkan kaki ke pintu. Ivander mengikutiku. Aku melambaikan tangan pada
Freddie sebelum keluar dari kafe itu.
0 komentar:
Posting Komentar